Selasa, 04 Maret 2014

Mengenal 4 Korvet Kelas Sigma TNI AL

IMI- Korvet kelas SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach) dirancang dan dibangun untuk TNI Angkatan Laut oleh Damen Schelde Naval Shipbuilding, perusahaan galangan kapal Belanda. Empat korvet kelas SIGMA 9113 telah dikirim ke TNI AL antara tahun 2007 sampai 2009.

Sistem propulsi canggih dan kemampuan berlayarnya yang baik menjadikan korvet kelas SIGMA cocok untuk dioperasikan di perairan Indonesia. Korvet kelas SIGMA dapat digunakan untuk misi patroli di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), misi anti kapal selam (ASW) dan untuk misi SAR (search-and-rescue).

Konsep
Korvet kelas SIGMA TNI AL dibangun berdasarkan konsep "ship integrated geometrical modularity approach" atau SIGMA, yang mana kapal akan memberikan fleksibilitas tinggi bagi TNI AL dengan biaya yang minim namun memungkinkan modularitas dalam desainnya.

Korvet kelas SIGMA berdimensi panjang 90,71 m, beam 13,02 m, dan draft 3,60 m. Masing-masing korvet memiliki bobot benaman (displacement) 1.700 ton dan dapat menampung 80 awak.

Konstruksi
Lunas (keel) dari korvet pertama kelas SIGMA, KRI Diponegoro-365, diletakkan pada Maret 2005. Kapal ini diluncurkan pada bulan September 2006 dan mulai ditugaskan pada bulan Juli 2007.

Lunas Korvet kedua, KRI Sultan Hasanuddin-366, juga diletakkan pada Maret 2005 dan diluncurkan pada bulan September 2006, namun baru ditugaskan pada 24 November 2007.

KRI Sultan Iskandar Muda-367 yang merupakan korvet ketiga dari kelas SIGMA, lunasnya diletakkan pada Mei 2006 dan diluncurkan pada bulan November 2007. KRI Sultan Iskandar Muda-367 baru ditugaskan pada bulan Oktober 2008.Lunas korvet keempat dan yang terakhir dari kelas SIGMA, KRI Frans Kaisiepo-368 diletakkan pada bulan Mei 2006, diluncurkan pada bulan Juni 2008 dan ditugaskan pada bulan Maret 2009.

Sistem senjata
Korvet kelas SIGMA dilengkapi dengan rudal MBDA Mistral Exocet permukaan ke permukaan (SSM) dan rudal Tetral permukaan ke udara (SAM).

Meriam Oto Melara 76 mm yang super cepat dengan laju tembakan 120 putaran per menit terpasang di bagian depan. Dua senjata G12 Denel Vector 20 mm juga terpasang pada korvet kelas SIGMA sebagai pertahanan dari ancaman udara.

Dek Korvet kelas SIGMA juga dilengkapi dengan dua peluncur tiga laras B515, yang merupakan senjata versi upgrade dari peluncur torpedo ILAS-3 (sudah pensiun).
Sensor dan radar

Perusahaan pertahanan multinasional Perancis, Thales, dianugerahi kontrak senilai €60 juta (sekitar 960 miliar rupiah saat ini) untuk mengirimkan sistem pertahanan bawah dan atas air serta sistem komunikasi untuk dua korvet pertama pada tahun 2004.

Sonar frekuensi menengah Kingklip menjadikan korvet SIGMA mampu mendeteksi kapal selam. Radar LIROD Mk2 pada SIGMA berfungsi sebagai radar kontrol tembak dan optronic director, sementara radar multibeam MW08 3D yang beroperasi di B-band (C-band) memberikan kemampuan untuk surveilance (pengawasan) dan penetapan target.

Sistem manajemen tempur TACTICOS (CMS TACTICOS) dari Thales berfungsi sebagai sistem komando dan kontrol yang terintegrasi dengan sensor.

Akomodasi helikopter
Dek helikopter pada bagian belakang korvet SIGMA mampu mengakomodasi helikopter dengan bobot maksium 5 ton. Dilengkapi dengan sistem pengisian bahan bakar dan lashing point, dek helikopter ini bisa dioperasikan kapan saja.

Sistem penanggulangan (countermeasures)

Selain dua peluncur decoy Terma SKWS (soft kill weapon system), korvet kelas SIGMA dilengkapi dengan sitem penanggulangan elektronik Thales DR3000 ESM dan Racal Scorpion 2L ECM.

Sistem propulsi dan tenaga
Korvet kelas SIGMA didukung oleh dua mesin diesel SEMT Pielstick yang menggerakkan dua baling-baling yang dikontrol dari dua poros. Setiap mesin menghasilkan output maksimum 8.910 kw, memberikannya kecepatan 28 knot (51,9 km/jam) dan jangkauan sekitar 5557 km pada kecepatan 18 knot (33,3 km/jam). Korvet kelas SIGMA juga diintegrasikan dengan sistem stabilisasi roll pasif.

Jepang Ajak Indonesia Kerjasama Pertahanan

IMI- Menteri luar negeri Jepang dan Indonesia sepakati untuk mengadakan pembicaraan ’2 +2′ Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sesegera mungkin, untuk memperkuat kemitraan strategis yang komprehensif dari kedua negara. Langkah ini tampaknya muncul sebagai gerakan untuk meng-counter kemajuan China ke Pasifik.

Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dengan rekannya dari Indonesia Marty Natalegawa, bertemu di sela-sela Kerjasama antara negara-negara Asia Timur untuk Pembangunan Palestina (CEAPAD), yang diadakan pada tanggal 1 Maret 2014 di Jakarta.

Kishida mengungkapkan rencana Jepang untuk berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas regional berdasarkan “proactive pacifism”, seperti pernyataan yang dilansir Kementerian Luar Negeri Jepang.

Masalah Yang Tertinggal Dari KRI Usman Harun

IMI- Jakarta ☆ Kehadiran tiga kapal perang besutan dari Inggris ini, agaknya masih ada masalah yang mengganjal. Terlepas dari kegiatan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI DR. Marsetio, di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa.

Kedua pemimpin itu membicarakan perkembangan pembangunan tiga unit kapal frigate kelas KRI Usman-Harun/359 yang sedang dirampungkan di Inggris, sebagaimana dinyatakan Dinas Penerangan TNI AL, di Jakarta, Selasa.

TNI AL tengah menunggu kehadiran kapal fregat jenis Multi Role Light Frigate yang sedang dibuat di Inggris, masing-masing KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358, dan KRI Usman Harun-359.

Kehadiran KRI Usman-Harun-359 pernah membuat Singapura meradang dan membuat beberapa program kerja sama militer Indonesia dengan mereka dihentikan di tengah jalan, di antaranya pembatalan penampilan Tim Aerobatik Jupiter TNI AU di Singapore Airshow 2014.

Turut hadir mendampingi Laksamana DR. Marsetio dalam pertemuan itu adalah Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Ade Supandi, Asisten Pengamanan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Putu Yuli Adnyana, Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan, Asisten Logistik Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Suyitno, dan beberapa yang lain.

Info yang diterima oleh ASATUNEWS, sebenarnya pihak Angkatan Laut menginginkan frigate yang 'sesungguhnya', bukan light frigate sejenis dibuat dari Inggris ini. Pada awalnya, ketiga Multi Role Light Frigate ini merupakan pesanan Negara Brunei Darussalam.

Pada saat dibeli Indonesia, 3 korvet Nakhoda Ragam Class yang bersandar di Galangan Kapal Lursen Jerman. Rudal-rudal kapal perang itu, sudah tidak ada, hanya meninggalkan peluncur saja.

Salah satu peluncur yang menarik perhatian adalah torpedo Sting Ray launcher, anti-kapal selam. Torpedo Sting Ray dan Spearfish merupakan senjata andalan Angkatan Laut Inggris. Tahun 2009 lalu, Menteri Pertahanan Inggris menandatangani kontrak seharga 615 juta USD dengan BAE Systems Insyte Inggris, untuk pengadaan dan perawatan torpedo-torpedo tersebut selama 10 tahun ke depan.

Sting Ray torpedo kelas ringan yang diinstal di kapal perang Inggris, helikopter Lynx dan Merlin, serta Pesawat Patroli Maritim Nimrod. Versi terbarunya adalah Sting Ray Mod 1. Adapun Spearfish merupakan torpedo kelas berat dengan kecepatan 80 knot yang diinstal di seluruh kapal perang Inggris, termasuk: SSN Swiftsure, Trafalgar, Astute (attack boats class) dan SSBN Vanguard yang juga mengusung rudal nuklir.

Negara lain pengguna torpedo Sting Ray adalah Norwegia yang juga Anglo Saxon. Norwegia melengkapi kapal perang dan helikopternya dengan torpedo Sting Ray Mod 1. Norwegia memilih rudal ini karena memiliki kemampuan integrasi ke dalam platform sistem senjata permukaan maupun udara, dan Sting Ray dirancang untuk menghantam semua jenis kapal selam.

Selain Inggris dan Norwegia, Sting Ray juga digunakan oleh Angkatan Laut Thailand, karena dinilai cocok digunakan untuk laut yang dangkal. Inggris menjualnya ke Brunei karena bagian negara persemakmuran dan membutuhkan pertahanan yang handal akibat teritori negara yang kecil dan tidak dianggap ancaman.

Namun di tengah jalan, Inggris dan Brunei bersengketa tentang pembangunan 3 korvet tersebut. Pengadilan Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Inggris, sehingga Brunei harus membayar 3 korvet yang telah dipesan. Brunei membayarnya tapi tidak mau menggunakan korvet tersebut dengan cara menjualnya ke galangan kapal Lursen Jerman. Karena Brunei menolak membawa pulang Korvet Nakhoda Ragam Class, Inggris pun mencabut rudalnya.

Persoalan lain adalah, frigate ini belum pernah melakukan uji tembak rudal, baru sebatas sea trial. Brunei menggugat korvet tersebut, saat masih tahapan sea trial. Bagaimana jika rudal yang ditembakkan meleset. Siapa yang bertanggung jawab ?

Kemudian pihak Lursen Jerman menjual ketiga korvet dengan kondisi apa adanya, “kosongan”, tanpa rudal ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan 80 juta USD untuk repowering dan up-grade ketiga korvet Nahkoda Ragam Class. Dengan kondisi demikian, pihak pemerintah terpaksa merogoh koceknya lebih dalam lagi karena harganya jadi melambung.

Saat dikonfirmasikan ke sumber ASATUNEWS di Mabes AL, pihaknya terpaksa menerima ‘kondisi’ kapal-kapal perang tersebut. “Mau dikatakan apa lagi? Itu sudah jadi policy, “ paparnya. “Kalau soal itu jenisnya frigate ataupun light frigate, tergantung para pelaut saja yang bawa. Memang perbedaan keduanya terletak dari panjang kapalnya saja, “ lanjutnya.

Pertanyaan berikutnya muncul, apakah kapal perang jenis light frigate tersebut mampu menghadapi iklim maupun kedalaman perairan di Indonesia bagian timur, sesuai rencana pihak Angkatan Laut yang akan menempatkan mereka di sana? Sebagai acuan, kedalaman laut Aru saja bisa mencapai lebih dari 5000 meter, ombak yang besar dan angin selalu berubah-ubah. Atau kita tetap berpegang kepada lagu berjudul 'Nenek moyangku, seorang pelaut...?