IMI- Korvet kelas SIGMA (Ship Integrated
Geometrical Modularity Approach) dirancang dan dibangun untuk TNI
Angkatan Laut oleh Damen Schelde Naval Shipbuilding, perusahaan galangan
kapal Belanda. Empat korvet kelas SIGMA 9113 telah dikirim ke TNI AL antara tahun 2007 sampai 2009.
Sistem propulsi canggih dan kemampuan berlayarnya yang baik menjadikan
korvet kelas SIGMA cocok untuk dioperasikan di perairan Indonesia.
Korvet kelas SIGMA dapat digunakan untuk misi patroli di Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), misi anti kapal selam (ASW) dan untuk misi SAR
(search-and-rescue).
Konsep Korvet kelas SIGMA TNI AL
dibangun berdasarkan konsep "ship integrated geometrical modularity
approach" atau SIGMA, yang mana kapal akan memberikan fleksibilitas
tinggi bagi TNI AL dengan biaya yang minim namun memungkinkan
modularitas dalam desainnya.
Korvet kelas SIGMA berdimensi
panjang 90,71 m, beam 13,02 m, dan draft 3,60 m. Masing-masing korvet
memiliki bobot benaman (displacement) 1.700 ton dan dapat menampung 80
awak.
Konstruksi Lunas (keel) dari korvet pertama kelas
SIGMA, KRI Diponegoro-365, diletakkan pada Maret 2005. Kapal ini
diluncurkan pada bulan September 2006 dan mulai ditugaskan pada bulan
Juli 2007.
Lunas Korvet kedua, KRI Sultan Hasanuddin-366, juga
diletakkan pada Maret 2005 dan diluncurkan pada bulan September 2006,
namun baru ditugaskan pada 24 November 2007.
KRI Sultan
Iskandar Muda-367 yang merupakan korvet ketiga dari kelas SIGMA,
lunasnya diletakkan pada Mei 2006 dan diluncurkan pada bulan November
2007. KRI Sultan Iskandar Muda-367 baru ditugaskan pada bulan Oktober
2008.Lunas korvet keempat dan yang terakhir dari kelas SIGMA, KRI Frans
Kaisiepo-368 diletakkan pada bulan Mei 2006, diluncurkan pada bulan Juni
2008 dan ditugaskan pada bulan Maret 2009.
Sistem senjata
Korvet kelas SIGMA dilengkapi dengan rudal MBDA Mistral Exocet permukaan
ke permukaan (SSM) dan rudal Tetral permukaan ke udara (SAM).
Meriam Oto Melara 76 mm yang super cepat dengan laju tembakan 120
putaran per menit terpasang di bagian depan. Dua senjata G12 Denel
Vector 20 mm juga terpasang pada korvet kelas SIGMA sebagai pertahanan
dari ancaman udara.
Dek Korvet kelas SIGMA juga dilengkapi
dengan dua peluncur tiga laras B515, yang merupakan senjata versi
upgrade dari peluncur torpedo ILAS-3 (sudah pensiun). Sensor dan radar
Perusahaan pertahanan multinasional Perancis, Thales, dianugerahi
kontrak senilai €60 juta (sekitar 960 miliar rupiah saat ini) untuk
mengirimkan sistem pertahanan bawah dan atas air serta sistem komunikasi
untuk dua korvet pertama pada tahun 2004.
Sonar frekuensi
menengah Kingklip menjadikan korvet SIGMA mampu mendeteksi kapal selam.
Radar LIROD Mk2 pada SIGMA berfungsi sebagai radar kontrol tembak dan
optronic director, sementara radar multibeam MW08 3D yang beroperasi di
B-band (C-band) memberikan kemampuan untuk surveilance (pengawasan) dan
penetapan target.
Sistem manajemen tempur TACTICOS (CMS
TACTICOS) dari Thales berfungsi sebagai sistem komando dan kontrol yang
terintegrasi dengan sensor.
Akomodasi helikopter Dek
helikopter pada bagian belakang korvet SIGMA mampu mengakomodasi
helikopter dengan bobot maksium 5 ton. Dilengkapi dengan sistem
pengisian bahan bakar dan lashing point, dek helikopter ini bisa
dioperasikan kapan saja.
Sistem penanggulangan (countermeasures)
Selain dua peluncur decoy Terma SKWS (soft kill weapon system), korvet
kelas SIGMA dilengkapi dengan sitem penanggulangan elektronik Thales
DR3000 ESM dan Racal Scorpion 2L ECM.
Sistem propulsi dan tenaga
Korvet kelas SIGMA didukung oleh dua mesin diesel SEMT Pielstick yang
menggerakkan dua baling-baling yang dikontrol dari dua poros. Setiap
mesin menghasilkan output maksimum 8.910 kw, memberikannya kecepatan 28
knot (51,9 km/jam) dan jangkauan sekitar 5557 km pada kecepatan 18 knot
(33,3 km/jam). Korvet kelas SIGMA juga diintegrasikan dengan sistem
stabilisasi roll pasif.
IMI- Menteri luar negeri Jepang dan Indonesia sepakati untuk mengadakan
pembicaraan ’2 +2′ Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan sesegera
mungkin, untuk memperkuat kemitraan strategis yang komprehensif dari kedua negara. Langkah ini tampaknya muncul sebagai gerakan untuk meng-counter kemajuan China ke Pasifik.
Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida dengan rekannya dari Indonesia
Marty Natalegawa, bertemu di sela-sela Kerjasama antara negara-negara
Asia Timur untuk Pembangunan Palestina (CEAPAD), yang diadakan pada
tanggal 1 Maret 2014 di Jakarta. Kishida mengungkapkan rencana
Jepang untuk berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas regional
berdasarkan “proactive pacifism”, seperti pernyataan yang dilansir
Kementerian Luar Negeri Jepang.
IMI- Jakarta ☆ Kehadiran tiga kapal perang besutan dari Inggris ini,
agaknya masih ada masalah yang mengganjal. Terlepas dari kegiatan Duta
Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, mengadakan
kunjungan kehormatan kepada Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI DR.
Marsetio, di Markas Besar TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa.
Kedua pemimpin itu membicarakan perkembangan pembangunan tiga unit
kapal frigate kelas KRI Usman-Harun/359 yang sedang dirampungkan di
Inggris, sebagaimana dinyatakan Dinas Penerangan TNI AL, di Jakarta,
Selasa.
TNI AL tengah menunggu kehadiran kapal fregat jenis
Multi Role Light Frigate yang sedang dibuat di Inggris, masing-masing
KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358, dan KRI Usman Harun-359.
Kehadiran KRI Usman-Harun-359 pernah membuat Singapura meradang dan
membuat beberapa program kerja sama militer Indonesia dengan mereka
dihentikan di tengah jalan, di antaranya pembatalan penampilan Tim
Aerobatik Jupiter TNI AU di Singapore Airshow 2014.
Turut hadir
mendampingi Laksamana DR. Marsetio dalam pertemuan itu adalah Asisten
Perencanaan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Ade Supandi, Asisten
Pengamanan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Putu Yuli Adnyana,
Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan,
Asisten Logistik Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Suyitno, dan
beberapa yang lain.
Info yang diterima oleh ASATUNEWS,
sebenarnya pihak Angkatan Laut menginginkan frigate yang 'sesungguhnya',
bukan light frigate sejenis dibuat dari Inggris ini. Pada awalnya,
ketiga Multi Role Light Frigate ini merupakan pesanan Negara Brunei
Darussalam.
Pada saat dibeli Indonesia, 3 korvet Nakhoda Ragam
Class yang bersandar di Galangan Kapal Lursen Jerman. Rudal-rudal kapal
perang itu, sudah tidak ada, hanya meninggalkan peluncur saja.
Salah satu peluncur yang menarik perhatian adalah torpedo Sting Ray
launcher, anti-kapal selam. Torpedo Sting Ray dan Spearfish merupakan
senjata andalan Angkatan Laut Inggris. Tahun 2009 lalu, Menteri
Pertahanan Inggris menandatangani kontrak seharga 615 juta USD dengan
BAE Systems Insyte Inggris, untuk pengadaan dan perawatan
torpedo-torpedo tersebut selama 10 tahun ke depan.
Sting Ray
torpedo kelas ringan yang diinstal di kapal perang Inggris, helikopter
Lynx dan Merlin, serta Pesawat Patroli Maritim Nimrod. Versi terbarunya
adalah Sting Ray Mod 1. Adapun Spearfish merupakan torpedo kelas berat
dengan kecepatan 80 knot yang diinstal di seluruh kapal perang Inggris,
termasuk: SSN Swiftsure, Trafalgar, Astute (attack boats class) dan SSBN
Vanguard yang juga mengusung rudal nuklir.
Negara lain
pengguna torpedo Sting Ray adalah Norwegia yang juga Anglo Saxon.
Norwegia melengkapi kapal perang dan helikopternya dengan torpedo Sting
Ray Mod 1. Norwegia memilih rudal ini karena memiliki kemampuan
integrasi ke dalam platform sistem senjata permukaan maupun udara, dan
Sting Ray dirancang untuk menghantam semua jenis kapal selam.
Selain Inggris dan Norwegia, Sting Ray juga digunakan oleh Angkatan Laut
Thailand, karena dinilai cocok digunakan untuk laut yang dangkal.
Inggris menjualnya ke Brunei karena bagian negara persemakmuran dan
membutuhkan pertahanan yang handal akibat teritori negara yang kecil dan
tidak dianggap ancaman.
Namun di tengah jalan, Inggris dan
Brunei bersengketa tentang pembangunan 3 korvet tersebut. Pengadilan
Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Inggris, sehingga Brunei
harus membayar 3 korvet yang telah dipesan. Brunei membayarnya tapi
tidak mau menggunakan korvet tersebut dengan cara menjualnya ke galangan
kapal Lursen Jerman. Karena Brunei menolak membawa pulang Korvet
Nakhoda Ragam Class, Inggris pun mencabut rudalnya.
Persoalan
lain adalah, frigate ini belum pernah melakukan uji tembak rudal, baru
sebatas sea trial. Brunei menggugat korvet tersebut, saat masih tahapan
sea trial. Bagaimana jika rudal yang ditembakkan meleset. Siapa yang
bertanggung jawab ?
Kemudian pihak Lursen Jerman menjual ketiga
korvet dengan kondisi apa adanya, “kosongan”, tanpa rudal ke Indonesia.
Untuk itu, pemerintah mengalokasikan 80 juta USD untuk repowering dan
up-grade ketiga korvet Nahkoda Ragam Class. Dengan kondisi demikian,
pihak pemerintah terpaksa merogoh koceknya lebih dalam lagi karena
harganya jadi melambung.
Saat dikonfirmasikan ke sumber
ASATUNEWS di Mabes AL, pihaknya terpaksa menerima ‘kondisi’ kapal-kapal
perang tersebut. “Mau dikatakan apa lagi? Itu sudah jadi policy, “
paparnya. “Kalau soal itu jenisnya frigate ataupun light frigate,
tergantung para pelaut saja yang bawa. Memang perbedaan keduanya
terletak dari panjang kapalnya saja, “ lanjutnya.
Pertanyaan
berikutnya muncul, apakah kapal perang jenis light frigate tersebut
mampu menghadapi iklim maupun kedalaman perairan di Indonesia bagian
timur, sesuai rencana pihak Angkatan Laut yang akan menempatkan mereka
di sana? Sebagai acuan, kedalaman laut Aru saja bisa mencapai lebih dari
5000 meter, ombak yang besar dan angin selalu berubah-ubah. Atau kita
tetap berpegang kepada lagu berjudul 'Nenek moyangku, seorang pelaut...?